Sabtu, 13 Desember 2008

Pendidikan Indonesia yang Kehilangan Visi

Pendidikan Indonesia yang Kehilangan Visi
By: Iva Hasanah (Dirk. KPS2K)

Pergantian kurikulum pendidikan tiap tahun, kontroversi tentang adanya Ujian Nasional (UN) yang mengakibatkan banyak dampak yang ditimbulkan mulai dari level siswa sampai guru, adanya kecenderungan anak melakukan bunuh diri karena persoalan yang ada disekolah, gugatan terhadap budget pendidikan yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara (UUD 45) dan masih banyak lagi persoalan yang ada saat ini merupakan gambaran potret pendidikan di Indonesia yang belum membaik.

Sesuai dengan kontek saat ini ketika investasi untuk membangun kapasitas manusia tidak menjadi prioritas maka dapat dipastikan bahwa masa depan Indonesia tidak akan menjadi cerah. Pendidikan yang dipahami dengan sempit adalah sekolah menjadi media utama dalam meningkatkan kapasitas manusia padahal pendidikan dalam makna luas harus dipahami bahwa setiap tempat, waktu dan suasana adalah media pendidikan yang setiap manusia dapat mengambil pelajaran dengan guru yang berbeda-beda pula.

Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa ketika Negara kita membagi pendidikan menjadi tiga jenis yaitu pendidikan formal (PF), pendidikan non formal (PNF) dan pendidikan informal (PIF) sejauh mana akses yang disediakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Selama ini kebijakan yang diprioritaskan hanya terjebak pada jenis pendidikan formal, yang sampai saat ini belum juga menemukan bentuknya. Fakta kasus yang di atas merupakan carut marut tentang out put kebijakan yang selama ini sudah diimplementasikan. Ada apa dengan carut marut ini? Jika pendidikan tidak dipisahkan dengan kepentingan sesaat maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih baik khususnya untuk masyarakat marginal.

Adanya gap yang jauh antara penyusun kurikulum dengan implementator di lapangan dalam hal ini guru merupakan salah satu unsur yang dapat disebutkan jika pendidikan tidak lepas dari kepentingan sesaat
Pendidikan Indonesia yang Kehilangan Visi
By: Iva Hasanah (Dirk. KPS2K)
Pergantian kurikulum pendidikan tiap tahun, kontroversi tentang adanya Ujian Nasional (UN) yang mengakibatkan banyak dampak yang ditimbulkan mulai dari level siswa sampai guru, adanya kecenderungan anak melakukan bunuh diri karena persoalan yang ada disekolah, gugatan terhadap budget pendidikan yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara (UUD 45) dan masih banyak lagi persoalan yang ada saat ini merupakan gambaran potret pendidikan di Indonesia yang belum membaik.
Sesuai dengan kontek saat ini ketika investasi untuk membangun kapasitas manusia tidak menjadi prioritas maka dapat dipastikan bahwa masa depan Indonesia tidak akan menjadi cerah. Pendidikan yang dipahami dengan sempit adalah sekolah menjadi media utama dalam meningkatkan kapasitas manusia padahal pendidikan dalam makna luas harus dipahami bahwa setiap tempat, waktu dan suasana adalah media pendidikan yang setiap manusia dapat mengambil pelajaran dengan guru yang berbeda-beda pula.
Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa ketika Negara kita membagi pendidikan menjadi tiga jenis yaitu pendidikan formal (PF), pendidikan non formal (PNF) dan pendidikan informal (PIF) sejauh mana akses yang disediakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Selama ini kebijakan yang diprioritaskan hanya terjebak pada jenis pendidikan formal, yang sampai saat ini belum juga menemukan bentuknya. Fakta kasus yang di atas merupakan carut marut tentang out put kebijakan yang selama ini sudah diimplementasikan. Ada apa dengan carut marut ini? Jika pendidikan tidak dipisahkan dengan kepentingan sesaat maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih baik khususnya untuk masyarakat marginal.
Adanya gap yang jauh antara penyusun kurikulum dengan implementator di lapangan dalam hal ini guru merupakan salah satu unsur yang dapat disebutkan jika pendidikan tidak lepas dari kepentingan sesaat

Jumat, 05 Desember 2008

Undang-undang yang Porno

Undang-undang yang Porno?
Rabu, 17 September 2008 | 00:25 WIB 
Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
Pada tahun 2006 sebuah Panitia Khusus DPR menyiapkan teks RUU Antipornografi dan Antipornoaksi. RUU itu menimbulkan kontroversi di masyarakat, akhirnya menghilang dari peredaran.
Kini kita dikagetkan bukan hanya oleh sebuah RUU Antipornografi baru, tetapi oleh berita bahwa RUU itu, dengan memanfaatkan bulan Ramadhan, mau cepat-cepat disahkan dengan menghindar dari debat publik. Bak maling memanfaatkan terang remang-remang. Apa mereka tidak tahu malu?
Dengan tepat pernah ditegaskan filsuf Immanuel Kant, setiap kebijakan politik yang takut mata publik adalah kotor. Mengesahkan RUU antiporno dengan menghindar dari sorotan publik adalah politik porno sendiri!
Lebih gawat lagi, dalam beberapa media, RUU itu disebut ”hadiah Ramadhan”. Menghubungkan sebuah undang-undang yang kontroversi dengan bulan suci Ramadhan yang ingin kita hormati, tak lain adalah sebuah pemerasan, sebuah ancaman tersembunyi.
Orang yang berani menyuarakan kritiknya disindir kurang menghormati bulan suci Ramadhan! Dan kita tahu nasib orang yang dicap kurang menghormati unsur agama di negara ini. Sindiran ini sebuah cara amat keji untuk membungkam kebebasan menyatakan pendapat!
Debat publik dulu
Tentang apakah kita perlu sebuah UU khusus untuk memberantas pornografi—yang kita sepakati sedang merajalela dan memang perlu diberantas—bisa ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan, semua sarana hukum untuk memberantas pornografi sudah tersedia; jadi buat apa sebuah UU khusus? Dan ada yang berpendapat, hanya dengan sebuah UU khusus pornografi bisa betul-betul diberantas.
Akhirnya DPR harus memutuskan hal ini, dengan keputusan mayoritas. Tetapi, dan itu yang menentukan, sebelum publik diberi kesempatan membahas RUU itu secara bebas dan terbuka.
Mengingat RUU itu bukan tentang kebijakan politik biasa, tetapi menyangkut kehidupan dan cara kerja sehari-hari masyarakat. Tak bisa sebagian masyarakat menentukan bagaimana semua harus membawa diri. Semua berhak menyatakan pendapat. Semua wajib didengar dulu sebelum akhirnya diambil keputusan.
Karena itu harus dituntut bahwa RUU Antipornografi dibuka kepada publik lebih dulu, baru diambil keputusan. Dari yang sekarang saja diketahui, ada beberapa kekurangan yang perlu pembahasan. Definisi ”pornografi” tetap kabur (memang sulit, tetapi justru karena itu definisi tidak boleh sepihak), kurang dibedakan antara orang di bawah umur dan orang dewasa (cukup serius itu), serta, amat mengkhawatirkan, ada anjuran tak langsung agar masyarakat mengambil hukum dalam tangannya sendiri (apa kita mau membongkar sendiri negara hukum dan menyerahkan negara kita ke tangan laskar-laskar vigilantes?)
Maka, sekali lagi, menghindar dari debat publik atas suatu rencana undang-undang yang begitu peka, yang dalam bahaya melanggar keutuhan asasi orang di Indonesia, akan merupakan tindakan tidak etis. Jangan kita mau memberantas pornografi dengan politik yang porno sendiri.
Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

UU untuk Membatasi Industri Seks

RUU untuk Membatasi Industri Seks

Dinilai Ancam Kemajemukan
Kompas, Sabtu, 20 September 2008 | 00:25 WIB 

Jakarta, Kompas - Mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi adalah untuk segera membatasi semakin bebas dan maraknya industri seks yang nyaris tidak terkontrol. Karena itu, jika tidak dapat ditempuh dengan musyawarah, voting merupakan langkah penyelesaian untuk mengakhiri pro-kontra.

Ketua Panitia Khusus RUU Pornografi Balkan Kaplale di Jakarta, Jumat (19/9), mengatakan, pansus sudah melakukan studi banding ke Amerika Serikat dan Turki sebagai negara yang dianggap bebas dan sekuler. Di kedua negara tersebut, pornografi diawasi secara ketat oleh beberapa lembaga negara setingkat departemen.

Penjualan produk pornografi dibatasi di tempat-tempat tertentu dan hanya boleh dikonsumsi oleh mereka yang berumur minimal 17 tahun. Sanksi berat pun diberikan bagi mereka yang melanggar ketentuan pembatasan pornografi.

Di dalam negeri, pansus juga telah melakukan uji publik di tujuh provinsi dan menerima masukan dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang pro maupun kontra. Menurut Balkan, penolakan yang terjadi di sejumlah daerah hanya dilakukan kelompok-kelompok tertentu.

Dari 10 fraksi di DPR, lanjutnya, hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejahtera yang menolak. Jika memang kesepakatan dengan musyawarah tak dapat ditempuh, penyelesaiannya adalah dengan voting.

Balkan menambahkan, pengaturan pornografi di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU No 43/1999 tentang Pers, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum.

Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, juga menunggu ada perundang-undangan yang mengatur pornografi secara khusus. ”Sanksi dalam RUU ini juga lebih berat dan tegas untuk memberikan efek jera,” kata Balkan.

Mengancam

Seniman dari Bali, Sugi Lanus, bersama dengan anggota DPRD Bali dan sejumlah tokoh Bali, Jumat, menemui anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta. Rombongan yang menamakan diri Komponen Rakyat Bali itu menyampaikan penolakan mereka atas RUU Pornografi yang saat ini tengah dibahas di DPR.

Kehadiran RUU Pornografi dinilai dapat membunuh hak eksistensial warga negara. Adanya beberapa pasal pengecualian dan definisi yang multi-interpretasi dinilai menyebabkan kekayaan budaya terancam tereduksi sebagai produk pornografi.

Mereka menilai RUU Pornografi telah mengingkari janji kebangsaan dan entitas Indonesia sebagai bangsa majemuk. ”Kenyataan itu tidak dapat direduksi di bawah formalitas kesusilaan tertentu,” kata Sugi Lanus.

Anggota DPD dari Bali, Ida Ayu Agung Mas, menyatakan, RUU tidak boleh membunuh hak-hak eksistensial warga negara. Menurut dia, lebih baik pemerintah menegakkan hukum atas ketentuan yang telah ada seperti KUHP, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, atau PP No 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film.

Sedangkan SETARA Institute for Democracy and Peace dalam surat terbukanya menolak tegas rencana pengesahan RUU Pornografi. Alasannya, antara lain, materi muatan RUU Pornografi dibangun atas dasar pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan karena meletakkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi. (MZW/JOS)