Sabtu, 13 Desember 2008

Pendidikan Indonesia yang Kehilangan Visi

Pendidikan Indonesia yang Kehilangan Visi
By: Iva Hasanah (Dirk. KPS2K)

Pergantian kurikulum pendidikan tiap tahun, kontroversi tentang adanya Ujian Nasional (UN) yang mengakibatkan banyak dampak yang ditimbulkan mulai dari level siswa sampai guru, adanya kecenderungan anak melakukan bunuh diri karena persoalan yang ada disekolah, gugatan terhadap budget pendidikan yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara (UUD 45) dan masih banyak lagi persoalan yang ada saat ini merupakan gambaran potret pendidikan di Indonesia yang belum membaik.

Sesuai dengan kontek saat ini ketika investasi untuk membangun kapasitas manusia tidak menjadi prioritas maka dapat dipastikan bahwa masa depan Indonesia tidak akan menjadi cerah. Pendidikan yang dipahami dengan sempit adalah sekolah menjadi media utama dalam meningkatkan kapasitas manusia padahal pendidikan dalam makna luas harus dipahami bahwa setiap tempat, waktu dan suasana adalah media pendidikan yang setiap manusia dapat mengambil pelajaran dengan guru yang berbeda-beda pula.

Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa ketika Negara kita membagi pendidikan menjadi tiga jenis yaitu pendidikan formal (PF), pendidikan non formal (PNF) dan pendidikan informal (PIF) sejauh mana akses yang disediakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Selama ini kebijakan yang diprioritaskan hanya terjebak pada jenis pendidikan formal, yang sampai saat ini belum juga menemukan bentuknya. Fakta kasus yang di atas merupakan carut marut tentang out put kebijakan yang selama ini sudah diimplementasikan. Ada apa dengan carut marut ini? Jika pendidikan tidak dipisahkan dengan kepentingan sesaat maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih baik khususnya untuk masyarakat marginal.

Adanya gap yang jauh antara penyusun kurikulum dengan implementator di lapangan dalam hal ini guru merupakan salah satu unsur yang dapat disebutkan jika pendidikan tidak lepas dari kepentingan sesaat
Pendidikan Indonesia yang Kehilangan Visi
By: Iva Hasanah (Dirk. KPS2K)
Pergantian kurikulum pendidikan tiap tahun, kontroversi tentang adanya Ujian Nasional (UN) yang mengakibatkan banyak dampak yang ditimbulkan mulai dari level siswa sampai guru, adanya kecenderungan anak melakukan bunuh diri karena persoalan yang ada disekolah, gugatan terhadap budget pendidikan yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara (UUD 45) dan masih banyak lagi persoalan yang ada saat ini merupakan gambaran potret pendidikan di Indonesia yang belum membaik.
Sesuai dengan kontek saat ini ketika investasi untuk membangun kapasitas manusia tidak menjadi prioritas maka dapat dipastikan bahwa masa depan Indonesia tidak akan menjadi cerah. Pendidikan yang dipahami dengan sempit adalah sekolah menjadi media utama dalam meningkatkan kapasitas manusia padahal pendidikan dalam makna luas harus dipahami bahwa setiap tempat, waktu dan suasana adalah media pendidikan yang setiap manusia dapat mengambil pelajaran dengan guru yang berbeda-beda pula.
Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa ketika Negara kita membagi pendidikan menjadi tiga jenis yaitu pendidikan formal (PF), pendidikan non formal (PNF) dan pendidikan informal (PIF) sejauh mana akses yang disediakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Selama ini kebijakan yang diprioritaskan hanya terjebak pada jenis pendidikan formal, yang sampai saat ini belum juga menemukan bentuknya. Fakta kasus yang di atas merupakan carut marut tentang out put kebijakan yang selama ini sudah diimplementasikan. Ada apa dengan carut marut ini? Jika pendidikan tidak dipisahkan dengan kepentingan sesaat maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih baik khususnya untuk masyarakat marginal.
Adanya gap yang jauh antara penyusun kurikulum dengan implementator di lapangan dalam hal ini guru merupakan salah satu unsur yang dapat disebutkan jika pendidikan tidak lepas dari kepentingan sesaat

Jumat, 05 Desember 2008

Undang-undang yang Porno

Undang-undang yang Porno?
Rabu, 17 September 2008 | 00:25 WIB 
Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
Pada tahun 2006 sebuah Panitia Khusus DPR menyiapkan teks RUU Antipornografi dan Antipornoaksi. RUU itu menimbulkan kontroversi di masyarakat, akhirnya menghilang dari peredaran.
Kini kita dikagetkan bukan hanya oleh sebuah RUU Antipornografi baru, tetapi oleh berita bahwa RUU itu, dengan memanfaatkan bulan Ramadhan, mau cepat-cepat disahkan dengan menghindar dari debat publik. Bak maling memanfaatkan terang remang-remang. Apa mereka tidak tahu malu?
Dengan tepat pernah ditegaskan filsuf Immanuel Kant, setiap kebijakan politik yang takut mata publik adalah kotor. Mengesahkan RUU antiporno dengan menghindar dari sorotan publik adalah politik porno sendiri!
Lebih gawat lagi, dalam beberapa media, RUU itu disebut ”hadiah Ramadhan”. Menghubungkan sebuah undang-undang yang kontroversi dengan bulan suci Ramadhan yang ingin kita hormati, tak lain adalah sebuah pemerasan, sebuah ancaman tersembunyi.
Orang yang berani menyuarakan kritiknya disindir kurang menghormati bulan suci Ramadhan! Dan kita tahu nasib orang yang dicap kurang menghormati unsur agama di negara ini. Sindiran ini sebuah cara amat keji untuk membungkam kebebasan menyatakan pendapat!
Debat publik dulu
Tentang apakah kita perlu sebuah UU khusus untuk memberantas pornografi—yang kita sepakati sedang merajalela dan memang perlu diberantas—bisa ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan, semua sarana hukum untuk memberantas pornografi sudah tersedia; jadi buat apa sebuah UU khusus? Dan ada yang berpendapat, hanya dengan sebuah UU khusus pornografi bisa betul-betul diberantas.
Akhirnya DPR harus memutuskan hal ini, dengan keputusan mayoritas. Tetapi, dan itu yang menentukan, sebelum publik diberi kesempatan membahas RUU itu secara bebas dan terbuka.
Mengingat RUU itu bukan tentang kebijakan politik biasa, tetapi menyangkut kehidupan dan cara kerja sehari-hari masyarakat. Tak bisa sebagian masyarakat menentukan bagaimana semua harus membawa diri. Semua berhak menyatakan pendapat. Semua wajib didengar dulu sebelum akhirnya diambil keputusan.
Karena itu harus dituntut bahwa RUU Antipornografi dibuka kepada publik lebih dulu, baru diambil keputusan. Dari yang sekarang saja diketahui, ada beberapa kekurangan yang perlu pembahasan. Definisi ”pornografi” tetap kabur (memang sulit, tetapi justru karena itu definisi tidak boleh sepihak), kurang dibedakan antara orang di bawah umur dan orang dewasa (cukup serius itu), serta, amat mengkhawatirkan, ada anjuran tak langsung agar masyarakat mengambil hukum dalam tangannya sendiri (apa kita mau membongkar sendiri negara hukum dan menyerahkan negara kita ke tangan laskar-laskar vigilantes?)
Maka, sekali lagi, menghindar dari debat publik atas suatu rencana undang-undang yang begitu peka, yang dalam bahaya melanggar keutuhan asasi orang di Indonesia, akan merupakan tindakan tidak etis. Jangan kita mau memberantas pornografi dengan politik yang porno sendiri.
Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

UU untuk Membatasi Industri Seks

RUU untuk Membatasi Industri Seks

Dinilai Ancam Kemajemukan
Kompas, Sabtu, 20 September 2008 | 00:25 WIB 

Jakarta, Kompas - Mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi adalah untuk segera membatasi semakin bebas dan maraknya industri seks yang nyaris tidak terkontrol. Karena itu, jika tidak dapat ditempuh dengan musyawarah, voting merupakan langkah penyelesaian untuk mengakhiri pro-kontra.

Ketua Panitia Khusus RUU Pornografi Balkan Kaplale di Jakarta, Jumat (19/9), mengatakan, pansus sudah melakukan studi banding ke Amerika Serikat dan Turki sebagai negara yang dianggap bebas dan sekuler. Di kedua negara tersebut, pornografi diawasi secara ketat oleh beberapa lembaga negara setingkat departemen.

Penjualan produk pornografi dibatasi di tempat-tempat tertentu dan hanya boleh dikonsumsi oleh mereka yang berumur minimal 17 tahun. Sanksi berat pun diberikan bagi mereka yang melanggar ketentuan pembatasan pornografi.

Di dalam negeri, pansus juga telah melakukan uji publik di tujuh provinsi dan menerima masukan dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang pro maupun kontra. Menurut Balkan, penolakan yang terjadi di sejumlah daerah hanya dilakukan kelompok-kelompok tertentu.

Dari 10 fraksi di DPR, lanjutnya, hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Damai Sejahtera yang menolak. Jika memang kesepakatan dengan musyawarah tak dapat ditempuh, penyelesaiannya adalah dengan voting.

Balkan menambahkan, pengaturan pornografi di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU No 43/1999 tentang Pers, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, dan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum.

Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, juga menunggu ada perundang-undangan yang mengatur pornografi secara khusus. ”Sanksi dalam RUU ini juga lebih berat dan tegas untuk memberikan efek jera,” kata Balkan.

Mengancam

Seniman dari Bali, Sugi Lanus, bersama dengan anggota DPRD Bali dan sejumlah tokoh Bali, Jumat, menemui anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta. Rombongan yang menamakan diri Komponen Rakyat Bali itu menyampaikan penolakan mereka atas RUU Pornografi yang saat ini tengah dibahas di DPR.

Kehadiran RUU Pornografi dinilai dapat membunuh hak eksistensial warga negara. Adanya beberapa pasal pengecualian dan definisi yang multi-interpretasi dinilai menyebabkan kekayaan budaya terancam tereduksi sebagai produk pornografi.

Mereka menilai RUU Pornografi telah mengingkari janji kebangsaan dan entitas Indonesia sebagai bangsa majemuk. ”Kenyataan itu tidak dapat direduksi di bawah formalitas kesusilaan tertentu,” kata Sugi Lanus.

Anggota DPD dari Bali, Ida Ayu Agung Mas, menyatakan, RUU tidak boleh membunuh hak-hak eksistensial warga negara. Menurut dia, lebih baik pemerintah menegakkan hukum atas ketentuan yang telah ada seperti KUHP, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, atau PP No 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film.

Sedangkan SETARA Institute for Democracy and Peace dalam surat terbukanya menolak tegas rencana pengesahan RUU Pornografi. Alasannya, antara lain, materi muatan RUU Pornografi dibangun atas dasar pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan karena meletakkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi. (MZW/JOS)
   

Senin, 24 November 2008

HAK-HAK REPRODUKSI PEREMPUAN
PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Husein Muhammad


Bicara reproduksi perempuan sesungguhnya adalah bicara soal tubuh perempuan berikut semua yang dimilikinya. Ia bukan sekedar seonggok tulang yang dibungkus daging dan kulit serta organ-organ reproduksi, tetapi juga hati nurani dan akal pikirannya. Ia adalah tubuh manusia dengan seluruh eksistensinya seperti manusia berjenis kelamin laki-laki. Dalam waktu yang sangat panjang makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan ini dipandang oleh banyak peradaban manusia sebagai sosok yang yang hadir untuk dinikmati secara seksual, berfungsi melahirkan sekaligus juga direndahkan. Aristoteles mengkonseptualisasikan perempuan bukan hanya berkedudukan subordinat, melainkan juga secara bawaan dan biologis bersifat inferior dalam kapasitas mental maupun fisik. Semuanya bersifat alami.(Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, hlm.29).

Dalam peradaban Arabia pra Islam perempuan adalah “mata’” (benda) yang bisa diwariskan atau digadaikan dan “mut’ah” (kesenangan) yang bisa diperebutkan laki-laki. Lebih dari itu perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan. Karena itu ia seringkali dianggap wajar untuk dikutuk seperti setan dan pantas untuk dibunuh bahkan hidup-hidup. Realitas kebudayaan seperti ini diungkapkan oleh sejumlah ayat dalam al Qur-an. (Baca :Q.S. al Nahl, 58, al Takwir, 9). Wahb bin Munabbih, seorang ahli tafsir bibel terkemuka, beragama Yahudi kemudian masuk Islam, seperti dikutip ahli Tafsir klasik terkemuka, Ibnu Jarir al Thabari, ketika mengomentari kejatuhan Adam dari sorga, mengatakan : “Tuhan bertanya kepada Adam : mengapa kamu menentang perintah-Ku?”. Adam menjawab : “Gara-gara Hawa. Tuhan kemudian mengatakan : “Jika begitu, Aku akan jadikan dia (Hawa) berdarah-darah setiap bulan, Aku jadikan dia bodoh dan Aku jadikan dia menderita ketika melahirkan. Padahal sebelumnya dia Aku jadikan bersih cerdas dan melahirkan dengan menyenangkan”. Salah seorang periwayat kisah ini mengomentari : “Andaikata tidak karena Hawa, niscaya perempuan di seluruh muka bumi tidak akan pernah haid, cerdas-cerdas dan melahirkan tanpa susah payah”. (Al thabari, Jami’ al Bayan ‘an Takwil Ay al Qur-an, I/237).

Pernyataan al Qur-an maupun perspektif Ibnu Munabbih di atas dengan jelas memperlihatkan betapa pandangan peradaban Arabia pra Islam dan wacana tafsir keagamaan telah menyudutkan dan merendahkan perempuan sedemikian jauhnya. Meskipun pandangan Ibnu Munabbih sulit dipahami oleh logika sehat dan sangat berbau mitologis, tetapi ia memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap status perempuan di kemudian hari. Penghargaan sedikit lebih baik terhadap kaum perempuan dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali melalui izin suami atau keluarga dekatnya atau dengan pengawasan yang sangat ketat. Dan di rumah itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan seks laki-laki (suami) dan melahirkan anak. Perempuan (isteri) harus senantiasa siap menerima kebutuhan laki-laki itu kapan saja dan di mana saja, di dapur atau di atas punggung unta.



Islam dan Hak-hak Perempuan

Islam sebagai agama seperti juga agama-agama yang lain adalah otoritas yang selalu berfungsi menyelamatkan dan membebaskan manusia dari tirani-tirani manusia yang lain. Al Qur-an menyebutkan fungsi ini sebagai “yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur” (mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya). Islam hadir dalam peradaban patriarkhis yang menindas perempuan. Nabi Muhammad menyampaikan statement Tuhan tentang penghapusan diskriminasi manusia di satu sisi dan membangkitkan kesadaran baru tentang martabat manusia di sisi yang lain. Laki-laki dan perempuan menurut teks suci Tuhan lahir dari entitas yang sama dan karena itu berkedudukan sejajar dan sama di hadapan Tuhan. (Baca : Q.S. al Nisa, 1). Ini adalah merupakan konsekwensi logis dari teologi monoteistik yang dibawa Islam. Beberapa ayat al Qur-an yang turun menyebutkan nama perempuan bersama nama laki-laki. Mereka memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa diintervensi laki-laki. Ini, kata Umar bin Khattab adalah paradigma baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.(Al Bukhari, al Shahih,V/2197). Bahkan beberapa surah diberi nama “al Nisa” yang berarti perempuan, atau nama seorang perempuan, seperti Maryam atau yang berkaitan dengan persoalan hak reproduksi perempuan seperti al Thalaq.

Pandangan kesetaraan manusia, laki-laki dan perempuan dalam al Qur-an meliputi aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas dan seksualitas serta segala aktifitas kehidupan praktis yang lain. Tentang hubungan seksualitas, al Qur-an menyatakan : “dan mereka (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban mereka”.(Q.S. al Baqarah, 228). Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi terkemuka, mengomentari ayat ini dengan mengatakan : “Aku suka berdandan untuk isteriku seperti aku suka dia berdandan untukku”.(Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al Azhim, I/271). Ayat lain juga menyebutkan : “mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.(Q.S. Al Baqarah, 187). Ayat ini dikemukakan dalam konteks relasi seksual suami isteri. Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, al Hasan, Qatadah, al Siddi, Muqatil bin Hayyan menyatakan bahwa ayat ini berarti bahwa mereka tempat ketenangan bagi kamu (laki-laki) dan kamu tempat ketenangan bagi mereka (perempuan). Ibnu Katsir atas dasar ayat ini menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk menikmati kehidupan seksualnya. (Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, I/220).

Pandangan mainstream konservatif

Pandangan egalitarianisme Islam di atas adalah satu dari sekian prinsip Islam yang diharapkan menjadi landasan bagi system dan pranata-pranata social yang harus dibangun oleh masyarakat Islam untuk sebuah kehidupan yang adil. Sesudah nabi wafat dan beberapa waktu sesudah itu, pandangan demikian mengalami proses perjalanan yang tidak mulus bahkan ada kecenderungan stagnan atau bahkan mundur ke belakang. Dalam banyak hal yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, terdapat pandangan kaum muslimin yang belum memberikan respons transformatif-progresif. Mayoritas penafsir al Qur-an dan sunnah nabi seperti yang banyak kita baca dalam literatur klasik Islam memperlihatkan kecenderungan memposisikan perempuan secara subordinat. Hampir semua penafsir klasik berpendirian bahwa perempuan secara alami adalah makhluk inferior, sementara laki-laki superior. Pendirian mereka dibangun atas dasar argumen teks otoritatif, seperti ayat 34 surah al Nisa.

Pandangan ini pada akhirnya membawa implikasi-implikasi serius pada persoalan hak-hak reproduksi perempuan. Sejumlah masalah reproduksi perempuan dalam banyak literature Islam klasik, dikemukakan dengan tetap memposisikan perempuan sebagai makhluk biologis untuk kenikmatan laki-laki.

Hak-Hak Reproduksi Perempuan

1. Khitan perempuan

Khitan perempuan adalah masalah dini dari persoalan reproduksi perempuan. Mengenai khitan Al Qur-an sendiri tidak menyebutkannya secara eksplisit baik untuk khitan laki-laki maupun perempuan. Kitab suci ini hanya menyebut “hendaklah kamu mengikuti tradisi nabi Ibrahim”. Para ahli tafsir kemudian menyebut khitan sebagai salah satu tradisi Ibrahim. Pandangan mainstream kaum muslimin menunjukkan bahwa khitan perempuan adalah perlu. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan khitan perempuan adalah kemuliaan atau penghormatan. Sementara mazhab Syafi’I yang menjadi basis keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia, menyatakan khitan prempuan adalah wajib seperti laki-laki. Khitan adalah kewajiban, ibadah dan syiar agama. (Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu,III/642). Pendirian tersebut didasarkan atas hadits nabi : “potonglah ujungnya dan jangan berlebihan karena itu akan membuat wajah dia (perempuan) berseri-seri dan menyenangkan laki-laki”. (Abu Daud, al Sunan, IV/ 368).

Secara kwalitatif hadits yang menjadi dasar perlunya khitan perempuan menurut sejumlah ulama, seperti Abu Daud, Ibnu Munzir, al Syaukani dan Sayid Sabiq adalah lemah. Dengan kritik sangat tajam Sayid Sabiq mengatakan : “Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang sahih (valid).(Fiqh al Sunnah, I/26). Secara logika pemotongan bagian tubuh perempuan yang paling sensitive ini (klitoris) sulit dimengerti, apa guna (maslahat) nya ?. Ini tentu berbeda dengan khitan laki-laki. Pemotongan klitoris boleh jadi justeru menghilangkan kenikmatan seksual perempuan.

Kalau demikian, pernyataan nabi di atas seharusnya dapat diinterpretasikan sebagai respon nabi atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu itu sambil berusaha melakukan reduksi atasnya secara persuasive dan bertahap. Soalanya penghapusan budaya secara serta merta akan menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Dengan begitu pernyataan itu juga dapat mengarah pada upaya penghapusannya terutama ketika praktek khitan perempuan tersebut menurut pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberikan manfaat apalagi menyakiti atau merusak anggota tubuh.

2. Hak menentukan perkawinan

Perempuan dalam banyak tradisi seringkali dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa dia akan kawin. Seluruh kepentingan perempuan gadis ditentukan oleh orang tuanya dan dia harus patuh menjalaninya tanpa bisa menolaknya. Penolakan terhadap kehendak orang tua seringkali akan dicap sebagai anak yang tidak berbakti. Pada daerah tertentu, sampai hari ini masih berkembang anggapan bahwa orang tua yang dalam waktu dini bisa mengawinkan anak gadisnya akan dipandang berhasil. Mengawinkan anak gadis dalam usia dini seringkali merupakan kebanggaan keluarga. Ada sejumlah alasan mengapa ini dilakukan. Ini antara lain adalah kekhawatiran tidak laku atau menjadi perawan tua. Alasan lain yang paling umum dikemukakan adalah bersifat ekonomis.Ini pada umumnya terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah di pedesaan.

Tetapi tradisi mengawinkan anak gadis belum dewasa seringkali juga mengambil dasar keagamaan. Pertama hadits nabi yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah segera mengawinkannya jika dia sudah baligh. Jika tidak segera dikawinkan dikhawatirkan akan menimbulkan “fitnah”. Baligh dalam batasan fiqh ditentukan berdasarkan haidnya atau usia maksimal 15 tahun. Meskipun UU Perkawinan Indonesia telah menetapkan batas usia minimal perkawinan perempuan (16 tahun), namun perkawinan di bawah usia dewasa tersebut masih menjadi fenomena yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Jika kita membaca literatur fiqh secara lebih cermat, maka akan ditemukan satu benang merah. Yaitu bahwa perkawinanan di bawah usia bukanlah sesuatu yang baik (mustahab). Imam Syafi’i pernah menyatakan : “Sebaiknya ayah tidak mengawinkan anak gadisnya sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya (kerelaannya) karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban dan tanggungjawab”.(Najib Muthi’i, Takmilah al Majmu’, XV/58). Dalam analisis kesehatan reproduksi, perkawinan dini dapat menimbulkan kondisi yang rawan. Hal ini bukan hanya terkait dengan kondisi alat-alat reproduksinya yang belum kuat, tetapi juga berhubungan dengan tingkat kematangan mental dan emosinya. Padahal perkawinan dimaksudkan untuk membangun kehidupan rumahtangga yang didasarkan hubungan saling mencintai, saling memberi dan saling menguatkan demi kemaslahatan bersama. Untuk ini dibutuhkan kesiapan mental dan intelektual yang matang untuk dapat menentukan kehidupannya.

Kedua, ketentuan hukum agama (fiqh) yang menyatakan bahwa ayah berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa izin eksplisit yang bersangkutan. Ayah adalah pemilik hak ijbar yang diterjemahkan sebagai hak memaksa anak gadis untuk dikawinkan dengan laki-laki yang boleh jadi tidak dikehendakinya.

Pemaknaan hak ijbar sebagai hak memaksakan kehendak tanpa persetujuan yang bersangkutan adalah tidak tepat. Perkawinan yang dihasilkan dengan cara pemaksaan sama dengan sebuah transaksi yang tidak didasarkan atas kerelaan (taradhin). Siti Aisyah pernah menceritakan tentang seorang perempuan muda yang dipaksa kawin oleh ayahnya dengan orang yang tidak dia sukai. Dia mengadukan masalahnya kepada Nabi saws. Mendengar pengaduan perempuan itu beliau kemudian memanggil ayahnya dan memintanya agar menyerahkan urusan itu kepada anak perempuannya itu. (Ibnu al Atsir, Jami’ al Ushul, XII/140). Ini menunjukkan dengan jelas bahwa hak menentukan pasangan hidup atau jodoh berada di tangan perempuan sendiri. Apa yang dapat kita ambil dari sikap nabi saw tersebut adalah bahwa kemandirian perempuan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, karena di dalamnya terkandung aspek tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksinya sendiri.
2. Hak penikmatan seksual.

Sebagai makhluk biologis, laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan yang sama dalam hal menikmati kehidupan seksual (coitus). Kebutuhan akan seks adalah fitrah binatang apa saja, termasuk manusia. Dalam Islam kebutuhan seks manusia itu harus disalurkan melalui ikatan perkawinan yang oleh al Qur-an disebut sebagai “mitsaq ghalizha”, perjanjian yang kuat Tetapi dalam banyak literature fiqh Islam, hak penikmatan seksual tampak hanya menjadi milik laki-laki. Hak-hak seksual perempuan direduksi, jika tidak boleh disebut dinafikan. Pendapat terkuat dari mazhab al Syafi’i, misalnya, berpendirian bahwa kewajiban laki-laki (suami) melayani kebutuhan seksual perempuan hanya sekali seumur hidup perkawinan mereka. Ini juga hanya karena tuntutan moral belaka.(Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Mazahib al Arba’ah, IV/3). Selebihnya adalah tergantung pada laki-laki (suami) untuk memenuhinya atau tidak. Dengan arti lain, laki-laki (suami) berhak atas kenikmatan seksnya kapan saja, dan perempuan (isteri) wajib memenuhinya. Pandangan lebih baik dikemukakan oleh mazhab Maliki, meskipun masih tetap bias. Ia mengatakan bahwa suami wajib melayani kebutuhan seksual isteri hanya jika penolakannya akan menimbulkan penderitaannya.

Perspektif ahli fiqh di atas agaknya merupakan konsekwensi dari rumusan nikah yang dibuatnya. Mayoritas besar para ahli fiqh menyepakati rumusan perkawinan atau pernikahan sebagai akad yang memberikan hak kepada laki-laki untuk penikmatan tubuh perempuan. Rumusan ini di samping memperlihatkan perspektif laki-laki, juga melihat perempuan sebatas sebagai sosok tubuh dan organ-organ reproduksi yang menarik dan patut dinikmati, bukan sebagai tubuh yang utuh dengan segenap kehendak dan hasrat kemanusiaannya.

Pada sisi lain pandangan ahli fiqh di atas tampaknya berpijak pada argumen hadits nabi yang dibaca harfiyah dan diinterpretasikan secara bias. Nabi saw menyatakan bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai pagi. (baca : Al Bukhari, al Shahih, V/1992). Wacana keagamaan ini tampaknya telah berkembang menjadi kebudayaan yang masih berlangsung sampai hari ini.

Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa menolaknya sesungguhnya dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-hak reproduksinya. Bukan hanya dia sangat mungkin tidak mendapatkan kenikmatan seksual, tetapi juga boleh jadi merupakan tekanan yang berat secara psikologis. Lebih jauh ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.

Pandangan ini sungguh sulit dapat dimengerti ketika dihubungkan dengan prinsip kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan pesan al Qur-an tentang perlunya membangun relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah) antara suami dan isteri dalam membina rumahtangganya untuk sebuah generasi yang sehat. Al Qur-an dan hadits nabi juga selalu menekankan pentingnya relasi yang dibangun atas dasar “mu’asyarah bi al ma’ruf”. Ini tentu saja membutuhkan relasi yang saling memahami, menghargai dan menjaga kesehatan reproduksinya masing-masing. Karena itu adalah mungkin diinterpretasikan bahwa apa yang dikemukakan hadits tersebut berlaku terhadap perempuan (isteri) yang berada dalam kondisi aman dan tidak dalam tekanan-tekanan psikologis. (Untuk interpretasi ini lihat dalam : Ibnu Hajar al Asqallani, Fath al Bari, IX/294, Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuh, IX/6851).

Prinsip kesejajaran laki-laki dan perempuan, dan “mu’asyarah bi al ma’ruf” di atas sesungguhnya akan membawa konsekwensi logis pada dua hal. Yaitu hak perempuan untuk memperoleh kenikmatan kehidupan seksualnya dari laki-laki (suami) di satu sisi dan hak perempuan untuk menolak hubungan seksual karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan di sisi yang lain. Aspek lain yang terkait dengan ini adalah haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi termasuk biaya yang diperlukan bagi kesehatannya.

3. Hak menentukan kehamilan

Paradigma ini lebih lanjut dapat menjadi dasar bagi hak perempuan menolak untuk hamil karena pertimbangan kesehatan reproduksinya. Adalah sangat simpatik bahwa al Qur-an menekankan perlunya masyarakat memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal kehamilan perempuan. Kehamilan, kata al Qur-an, merupakan proses reproduksi yang sangat berat : “wahnan ‘ala wahnin” (kelemahan yang berganda) (Q.S. Luqman, 14) dan “kurhan” (sesuatu yang sangat berat).(Q.S. al Ahqaf, 15). Al Qur-an melalui kedua ayat di atas berwasiat agar manusia berbuat baik kepada orang tua mereka. Kondisi sangat lemah dan sangat berat tersebut mencapai puncaknya pada saat melahirkan. Terdapat banyak fakta social dan data penelitian tentang kematian ibu yang diakibatkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan dan proses melahirkan.

Oleh karena itu adalah sangat masuk akal bahkan seharusnya jika kehendak untuk hamil atau tidak, mempunyai anak atau tidak, perlu mempertimbangkan suara perempuan lebih dari suara laki-laki. Perempuan adalah pemilik utama rahim, tempat cikalbakal manusia dikandung. Dalam masa Islam klasik persoalan kehendak untuk tidak hamil dibahas dalam bab Azl atau coitus interuptus. Meskipun ada pandangan yang mengharamkan azl, karena dianggap sebagai “pembunuhan tersamar”, tetapi mayoritas ulama berdasarkan teks hadits yang lain membolehkannya. Al Ghazali bahkan bukan hanya membolehkan azl atas dasar pertimbangan kesehatan reproduksi melainkan juga atas dasar keinginan perempuan sendiri untuk menjadi tetap cantik, awet muda, khawatir risiko keguguran dan khawatir repot banyak anak. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/52).
Pada saat ini proses menunda kehamilan atau mengaturnya dapat dilakukan melalui teknis, metode dan alat kontrasepsi yang beragam dan lebih canggih. Mayoritas pandangan ulama dewasa ini telah memberikan lampu hijau bagi masyarakat muslim untuk menggunakan metode-metode dan alat-alat kontrasepsi apapun sepanjang tidak dimaksudkan untuk membatasi berlangsungnya proses reproduksi manusia. Agak disayangkan memang bahwa alat-alat kontrasepsi yang ada sampai saat ini masih lebih banyak diperuntukkan bagi perempuan dan jarang bagi laki-laki. Penyebutan alat-alat kontrasepsi diasosiasikan masyarakat sebagai alat-alat untuk perempuan.

4. Hak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi

Akan tetapi memberikan hak kepada perempuan untuk menentukan atau memutuskan kehamilannya tidaklah cukup dapat menjamin terwujudnya kondisi reproduksi perempuan yang sehat. Indikasinya adalah seringnya muncul keluhan perempuan yang ber KB. Hal ini bisa terjadi ketika mereka tidak diberikan hak untuk mendapatkan informasi mengenai system dan alat-alat kontrasepsi yang membuatnya tetap sehat. Di sinilah, maka perempuan juga berhak mendapatkan pengetahuan yang baik mengenainya. Pihak-pihak lain yang memahami alat-alat kontrasepsi, terutama pemerintah, berkewajiban menyampaikan secara jujur mengenainya, bukan atas dasar kepentingan demografis tetapi benar-benar karena alasan kesehatan reproduksi perempuan. Ini berarti juga bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani pemasangan alat kontrasepsi berkewajiban memberikan jenis alat kontrasepsi yang sesuai atau cocok untuk kepentingan tersebut.

Adalah sangat menarik bahwa ketika al Qur-an mengemukakan asal kejadian manusia dan perkembangbiakannya ia kemudian menekankan kepada manusia agar benar-benar saling memberikan informasi tentang perlunya menjaga rahim. Al Qur-an menyatakan : “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (saling memberi informasi, pen.) dan saling menjaga rahim-rahim”. (Q.S. al Nisa, 1). Para ahli tafsir memang memberikan tafsiran ayat ini tentang perlunya menjaga hubungan silaturrahim melalui pemenuhan hak dan kewajiban kemanusiaan. Akan tetapi adalah mungkin bahwa ia juga dimaksudkan agar manusia juga saling menjaga rahim, tempat di mana cikalbakal manusia dikandung dan kemudian dilahirkan.

5. Hak menentukan kelahiran

Penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan tidak dengan sertamerta menjamin kehamilan itu sendiri. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi, misalnya, mungkin saja terjadi dan dalam banyak fakta kemungkinan ini seringkali terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki dengan begitu sangat bisa terjadi. Kehamilan yang tidak dikehendaki mungkin juga bukan hanya karena factor kegagalan kontrasepsi melainkan juga karena faktor lain yang bisa mengganggu kesehatan reproduksi perempuan. Dalam keadaan demikian dapatkan perempuan menggugurkan kandungannya (aborsi)?.

Pada prinsipnya, Islam mengharamkan segala bentuk perusakan, pelukaan dan lebih jauh pembunuhan manusia. Ini dikemukakan dalam banyak ayat al Qur-an maupun pernyataan nabi saw. Al Qur-an menyatakan : “jangan kamu jatuhkan dirimu dalam kebinasaan”. Dalam sebuah hadits nabi pernah menyatakan : “la dharar wa la dhirar” (tidak ada hak orang untuk membuat tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain). Ia hanya bisa dilakukan atas dasar hukum yang benar demi keadilan manusia.

Meski demikian ada banyak kasus dimana manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak dikehendaki. Tidak sedikit kasus di mana seorang perempuan yang hamil dihadapkan pada persoalan penyakit yang dapat membawa risiko kematian jika kehamilannya diteruskan. Misalnya penyakit jantung kronis, paru-paru atau kanker yang parah dan lain-lain. Seorang perempuan juga bisa menghadapi problem kehidupan yang sangat pahit, misalnya stress berat akibat perkosaan atau incest. Pada kasus-kasus seperti ini dia menghadapi pilihan yang dilematis. Menggugurkan kandungan dapat berarti membunuh jiwa manusia yang sudah hidup. Tetapi membiarkan jiwa tersebut tetap hidup di dalam perut ibunya kemudian dilahirkan, bisa jadi dapat mengakibatkan kematian sang ibu atau membawa trauma psikologis yang sangat berat. Realitas Indonesia menunjukkan bahwa kematian ibu negara ini akibat melahirkan tergolong paling besar. Lebih dari 400 orang setiap 100 ribu meninggal dunia. Bagaimana sikap Islam khususnya fiqh mengenai hal ini ?.

Tradisi fiqh selalu menyediakan sejumlah alternatif jawaban, karena ia adalah produk pemikiran orang dalam sejarah. Kesepakatan para ahli fiqh dalam kasus ini terjadi ketika janin sudah berusia di atas 120 hari. Pengguguran kandungan pada usia ini diharamkan. Pada usia ini menurut mereka, janin sudah merupakan wujud manusia berikut segala kelengkapannya. Untuk aborsi sebelum usia 120 hari para ahli Islam mempunyai pandangan yang beragam. Pluralitas pandangan tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menganalisis teks al Qur-an dalam surah al Mukminun, 12-14 dan hadits nabi yang menegaskan persoalan ini. Ayat ini menyebutkan fase-fase pertumbuhan dan pembentukan manusia dalam kandungan. Yaitu fase nutfah, ‘alaqah dan mudghah. Pendirian paling ketat dikemukakan oleh al Ghazali dari mazhab Syafi’I, mayoritas mazhab Maliki dan Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri (leteralis). Mereka menyatakan aborsi diharamkan sejak fase pembuahan. Sementara mayoritas mazhab Syafi’I, sebagaimana diungkapkan al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj, mengharamkan aborsi sesudah fase nutfah. Pendirian paling longgar dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Al Hashkafi mengatakan bahwa aborsi dapat dilakukan pada janin dibawah usia 120 hari. (Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, II/51, Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, II/348, Ibnu Hazm, Al Muhalla, XI/35-40. Baca pula : Jad al Haq Ali Jad al Haq, Ahkam al Syari’ah al Islamiyah fi Masail al Thibbiyyah, hlm. 139).

Sepanjang yang dapat ditelusuri dalam literature fiqh klasik yang sampai hari ini masih menjadi sumber otoritatif kaum muslimin sesudah al Qur-an dan hadits dapat disimpulkan bahwa aborsi (bahasa fiqh :Isqasth al Haml atau Ijhadh), sepakat dibolehkan hanya ketika membiarkan janin tetap hidup sampai melahirkannya dapat mengancam nyawa ibu. Kepastian bahaya kematian ini didasarkan atas keterangan medis terpercaya. Pandangan ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah kematian ibu. Ia harus lebih diprioritaskan atau dipertimbangkan dibandingkan dengan kematian janin. Dalam wacana fiqh kematian janin memiliki risiko lebih ringan dibanding risiko kematian ibu. Ibu adalah asal sekaligus sumber kehidupan bagi yang lain. Esksistensinya telah benar-benar nyata. Ibu juga memiliki sejumlah kewajiban terhadap orang lain. Keadaan ini berbeda dengan janin. Meskipun dapat dinyatakan telah eksis karena telah hidup di dalam perut (rahim), akan tetapi ia tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap orang lain. Untuk mendukung pandangan ini para ahli fiqh mengemukakan sebuah kaedah hukum : “Jika kita dihadapkan pada sebuah dilemma yang membahayakan, maka korbankan hal yang paling kecil risikonya dengan menyelamatkan hal yang memiliki risiko lebih besar/berat”.: “Idza ta’aradhat al mafsadatani ruu’iya a’zhamuhuma dhararan”, atau “al Akhdz bi Akhaff al dhararain”. (Al Suyuthi, Al Asybah wa al Nazhair, hlm. 62).

Dari keterangan di atas tampaknya kita sekali lagi perlu memahami bahwa persoalan aborsi sesungguhnya sekali lagi bukan terletak pada soal hukum boleh atau tidak boleh dan bukan pula karena suatu alasan tertentu, melainkan berkaitan dengan hal lain yang lebih prinsipil, yaitu soal kematian perempuan (ibu). Pemikiran ini harus menjadi dasar bagi pertimbangan keputusan hukum untuk dilakukannya tindakan aborsi atau tidak. Pada sisi lain, meskipun undang-undang telah melarang tindakan aborsi akan tetapi ia bisa saja dilakukan orang dengan segenap cara dan berbagai jalan. Dan ini seringkali membahayakan bagi keselamatan hidupnya. Saya kira kita perlu memikirkan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menimbulkan kemungkinan kematian perempuan lebih banyak . (Husein Muhammad)


Cirebon, 30 Juni 2004

*Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari : “Hak-Hak Dan Kesehatan Reproduksi Perempuan”, 01 Juli 2004 di Hotel Prima, Cirebon, diselenggarakan Rahima Jakarta-WCC Balqis Cirebon.